Aku Tak Dapat Sendiri
Hari ini, sejak mentari memberikan
senyumnya yang bersinar hingga kini saat mentari itu telah lenyap dimakan sang
hujan di sore hari aku mengulang, aku mengingat kembali peristiwa apa saja yang
terjadi sepanjang hari ini. Aku, Amanda, saat ini merasa sangat benci dengan
hari ini. Aku benci dengan mereka yang telah menghancurkan hariku yang
seharusnya berjalan seperti jalanan yang tak ada kendaraan melintas sama
sekali.
Ku ingat kembali... Tadi pagi Mamah
dan aku sudah melakukan kebiasaan kami. Ya, beradu argumen. Semenjak Papah
meninggal, aku lebih sering melakukan hal ini. Tak peduli siang atau malam,
kami akan melakukan ini. Aku sebenarnya bosan, apa Mamah tidak bosan? Bisakah
kita ngobrol santai sambil minum teh di sore hari? Hah. Aku merasa pendapatku
tak didengar olehnya. Aku harus mengadu kepada siapa lagi? Tempatku mengeluh
kesah hanyalah padanya. Namun ia selalu memberi nasihat yang tidak aku harapan.
Akhirnya kami akan bertengkar lagi. Ya, ya, ya. Namun kejadian tadi pagi adalah
pertengkaran kami yang paling spektakuler. Sampai-sampai aku tidak pamit kepada
Mamah saat hendak pergi ke sekolah.
Dan sekolah pun begitu
menyebalkannya. Sahabat-sahabatku sangat menyebalkan, tak mengerti apa yang aku
rasakan. Ya, memang tidak akan tahu apa yang aku rasakan, tidak akan pernah.
Mereka menjauhiku semenjak Bu Ratih, guru Bahasa Inggrisku, memujiku karena
ulangan Bahasa Inggrisku berturut-turut mendapat nilai sempurna. Dan beliau
mengajukanku kepada sekolah untuk memasukkanku dalam lomba speech atau pidato 3
bulan mendatang.
Bu Ratih memandangku terlalu
berlebihan. Aku tahu itu. Kemampuanku tidak sesempurna yang ia katakan kepada
orang-orang. Aku ingin sekali berkata “Sudahlah, jangan seperti itu lagi. Aku malas
mendengarnya,”.
Sahabat-sahabatku makin hari makin
menjauh dariku. Dan mereka selalu jengkel saat Bu Ratih sedang memamerkan
diriku yang menderita ini. Mereka menjudgeku
yang tidak-tidak. Kabar yang ku dengar, mereka berkata aku hanyalah untung-untungan,
aku pandai membuat Bu Ratih tertarik kepadaku dan memberikan nilai besar
kepadaku. Hah, apa yang mereka fikirkan?! Mengapa mereka begitu hidup seperti
di dalam sinetron yang terlalu berfikir jauh dan tidak logis.
Aku hanya dapat diam saja karena
kalau aku berkata kepada mereka pun aku akan kalah. 1 melawan 4 orang itu tidak
imbang. Aku akan habis dimakan mereka. Hah, bodoh.
Dan saat aku sampai di rumah,
Adikku, Marisa, langsung menghampiriku dan memelukku. Ya, aku tahu pasti ada
maksudnya dibalik pelukan yang busuk ini. Dan benar! Dia ingin aku membantu
tugas mewarnainya karena dia tidak tahu warna apa yang pantas. Hah, dasar anak
TK. Aku sedang tidak mood.
“Kakakmu ini baru pulang sekolah. Di
sekolah banyak tugas, aku juga punya tugas, Dik. Dan aku mau mengerjakannya
sekarang. Jadi jangan ganggu ya,” bentakku padanya. Sebenarnya itu bohong. Aku hanya
ingin menenangkan diriku. Sendiri.
Aku tak peduli Adikku telah menangis
kencang sekali saat aku memasukki kamar. Masa bodoh lah. Mengapa dia tidak
berfikir kreatif sedikit? Walaupun dia tak tahu warna apa yang harus dipakai,
dia kan bisa menggunakan warna semaunya. Kalau gurunya berkata mengapa dia
memakai warna yang salah, dia kan bisa berkata “Ini kreasi saya, saya bosan
melihat jeruk warnanya oranye. Jadi saya merubahnya menjadi warna biru,”.
Hahaha. Yang ada gurunya harus
menahan emosi yang dibuat oleh muridnya yang masih ingusan dan cengeng itu.
Hujan begitu besar, membuatku ingin
menutupi seluruh tubuhku. Aku tak ingin kulitku kedinginan sedikit pun. Akhirnya
aku menarik selimut dan ...
“Man, ada telfon tuh. Angkat gih,”
ucap Resti, sahabatku, yang sedang duduk di sampingku sambil mengerjakan
tugasnya. Bukan, lebih tepatnya menyontek pekerjaan rumahku yang akan
dikumpulkan eso hari. Jadi siang ini, sepulang sekolah, dia mengerjakan tugas
dan malamnya dia bisa bertelepon ria dengan Ari, kekasihnya itu. Dasar.
Handphoneku memang berdering namun
entah aku begitu malas mengangkatnya setelah aku melihat layar terdapat tulisan
“Rumah J”, namun kupaksakan untuk
mengangkatnya.
“Hallo, Mah?”
“Manda?” kata seseorang yang
menurutku bukan Mamah. Lalu siapa?
“Ya?”
“Ini Bu Tina,” akhirnya si penelepon
memberikan identitasnya.
“Oh, iya. Ada apa, Bu?” aku pun
mulai merasa ada yang aneh. Mengapai Bu Tina menelepon dari nomor rumahku? Bukannya
beliau juga mempunyai telepon di rumahnya?
“Manda, Mamah udah engga ada. Tadi pagi waktu mau ke pasar
ada mobil yang nabrak Mamah, cuma yang nabraknya kabur,” jelas Bu Tina.
Seketika aku mematikan saluran
telepon dan aku langsung meneteskan air mataku. Ini benar terjadi? Mengapa?!
Aku dan sahabat-sahabatku langsung
pergi ke rumahku untuk melihat Mamah. Untungnya Pak Soid, supir keluarga Resti,
mengantarkan kami semua dengan mobilnya.
Dalam perjalanan, sahabat-sahabatku
menenangkanku. Namun tetap saja aku belum bisa menerima kenyataan. Bagaimana nasibku?!
Aku dan adikku akan menjadi yatim piatu. Apa kami akan dibawa ke panti asuhan? Tidak,
tidak!
Saat aku sedang memikirkan nasibku
yang luntang-lantung ini, tiba-tiba saja mobil kami ditabrak oleh sebuah bus
pariwisata dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Aku merasakan mobil
yang kami tumpangi berbalik dan aku melihat sekilas sahabat-sahabatku sudah
berlumuran darah dan ...
“Astaghfirullah,” teriakku kaget
saat aku terbangun dari tidurku di sore hari yang penuh dengan kilat dan
serangkaian air dari langit yang menyerang bumi ini.
Tubuhku begitu berkeringat dan saat
aku melihat jam. Benda bundar itu telah menunjukkan angka tepat di angka 6. Astaga.
Aku pun mulai terdiam dan
merenungkan mimpiku. Bagaimana kalau mimpiku menjadi kenyataan? Astaga. Aku pun
meneteskan air mataku.
Akhirnya aku merasa haus dan
mengambil air di dapur. Saat aku melihat ke ruang keluarga, aku melihat Marisa
mewarnai anggur dengan warna oranye. Hahaha. Mungkin itu jeruk yang mengalami
revolusi menjadi anggur.
Aku hampiri adikku. “Anggur itu
warna ungu, Dik,” aku memberikan crayon warna ungu pada adikku.
Adikku tersenyum dan meraih crayon
yang aku beri. “Terima kasih, Kakak”
Lalu aku melihat Mamah sedang
bergelut dengan mesin jahitnya yang tua itu. Nampaknya orderan menjahit untuk
Mamah sedang kurang. Ku hampiri Mamah. “Mah, maafin Manda ya yang tadi pagi,”
aku memeluk Mamah.
“Mamah mau maafin kamu kalau kamu
engga berhenti sekolah ya. Mamah ingin kamu terus sekolah sampai ya minimal
sarjana lah. Kan kalo kamu punya gelar, pekerjaan yang bakal kamu dapat
kemungkinan akan memberikan gaji yang besar dibanding kamu sekarang putus
sekolah, terus kamu jadi tukang cuci,” Mamah memelukku.
Tadi pagi kami berdebat karena aku
mengatakan akan berhenti sekolah karena aku tahu Mamah keberatan untuk
membiayai pendidikan aku dan adikku. Daripada Mamah sampai harus mengutang
kepada orang lain, lebih baik aku yang putus sekolah saja. Jadi beban Mamah
akan berkurang. Kalau Marisa yang berhenti sekolah, dia belum memiliki
kemampuan yang bisa dijual. Hahaha. Ya, aku mungkin dapat menjadi tukang cuci
gitu? Aku bisa kok.
“Tapi, Mah...” aku mencoba untuk
menolak omongan Mamahku yang menurutku dia tidak harus seperti itu.
“Masalah uang, Mamah pasti akan
cari. Untuk anak-anak Mamah engga peduli Mamah mau bagaimana juga. Yang penting
anak-anak Mamah jadi pintar. Ya? Kamu sama Marisa doain Mamah aja supaya setiap
hari Mamah dapet order,” Mamah menggenggam tanganku.
Aku menangis, “Tapi aku engga mau
Mamah sampai kurus begini. Aku pasti rajin belajar, aku akan cari beasiswa
supaya Mamah engga akan kayak gini lagi.”
Mamah pun tersenyum dan memelukku.
Esok hari, saat di sekolah aku
memberanikan diri untuk menghampiri sahabat-sahabatku. Selama aku tidak salah,
mengapa aku harus takut?
“Hai, Resti, Ambar, Gina, Bunga!”
sapa aku agak kikuk namun mencoba ramah.
“Jajan yuk?” Ambar begitu jijik
melihatku.
“Sebentar, aku ingin mengatakan
sesuatu,” tahanku.
Akhirnya setelah kami berargumen,
kami menemukan titik temu. Kami akhirnya saling meminta maaf dan persahabatan
kami pun kembali utuh. Kini mereka mendukungku untuk lomba speech nanti. Dan Bu
Ratih pun kini tak sering membanggakanku lagi.
Tuhan, aku tak bisa membayangkan
bagaimana bila mereka semua yang aku sayang harus meninggalkanku
selama-lamanya? Cukup aku kehilangan Ayahku setahun yang lalu karena kanker
paru-paru yang diidapnya. Aku belum siap untuk kehilangan yang lain. Aku masih
ingin berbagi kebaikan dengan mereka. Tuhan, tolong jaga mereka sebagaimana Kau
menjagaku untuk tidak membenci mereka.