Saturday, 27 April 2013

Aku Tak Dapat Sendiri

Ini sih cuma cerpen asal-asalan cuma ingin aja dipost di sini, di blog yang udah usangan, engga pernah diisi. Sebenernya ini cerpen buat tugas Bahasa Indonesia cuma ya malah memasuki cerpen dan yang disuruhnya cuma 3 halaman malah lebih. Ya sudah deh. Ini cerpennya masih amatiran, belum jago nulis, cuma aku minta masukkan buat menjadi suatu pacuan. Makasih.


Aku Tak Dapat Sendiri

                Hari ini, sejak mentari memberikan senyumnya yang bersinar hingga kini saat mentari itu telah lenyap dimakan sang hujan di sore hari aku mengulang, aku mengingat kembali peristiwa apa saja yang terjadi sepanjang hari ini. Aku, Amanda, saat ini merasa sangat benci dengan hari ini. Aku benci dengan mereka yang telah menghancurkan hariku yang seharusnya berjalan seperti jalanan yang tak ada kendaraan melintas sama sekali.
            Ku ingat kembali... Tadi pagi Mamah dan aku sudah melakukan kebiasaan kami. Ya, beradu argumen. Semenjak Papah meninggal, aku lebih sering melakukan hal ini. Tak peduli siang atau malam, kami akan melakukan ini. Aku sebenarnya bosan, apa Mamah tidak bosan? Bisakah kita ngobrol santai sambil minum teh di sore hari? Hah. Aku merasa pendapatku tak didengar olehnya. Aku harus mengadu kepada siapa lagi? Tempatku mengeluh kesah hanyalah padanya. Namun ia selalu memberi nasihat yang tidak aku harapan. Akhirnya kami akan bertengkar lagi. Ya, ya, ya. Namun kejadian tadi pagi adalah pertengkaran kami yang paling spektakuler. Sampai-sampai aku tidak pamit kepada Mamah saat hendak pergi ke sekolah.
            Dan sekolah pun begitu menyebalkannya. Sahabat-sahabatku sangat menyebalkan, tak mengerti apa yang aku rasakan. Ya, memang tidak akan tahu apa yang aku rasakan, tidak akan pernah. Mereka menjauhiku semenjak Bu Ratih, guru Bahasa Inggrisku, memujiku karena ulangan Bahasa Inggrisku berturut-turut mendapat nilai sempurna. Dan beliau mengajukanku kepada sekolah untuk memasukkanku dalam lomba speech atau pidato 3 bulan mendatang.
            Bu Ratih memandangku terlalu berlebihan. Aku tahu itu. Kemampuanku tidak sesempurna yang ia katakan kepada orang-orang. Aku ingin sekali berkata “Sudahlah, jangan seperti itu lagi. Aku malas mendengarnya,”.
            Sahabat-sahabatku makin hari makin menjauh dariku. Dan mereka selalu jengkel saat Bu Ratih sedang memamerkan diriku yang menderita ini. Mereka menjudgeku yang tidak-tidak. Kabar yang ku dengar, mereka berkata aku hanyalah untung-untungan, aku pandai membuat Bu Ratih tertarik kepadaku dan memberikan nilai besar kepadaku. Hah, apa yang mereka fikirkan?! Mengapa mereka begitu hidup seperti di dalam sinetron yang terlalu berfikir jauh dan tidak logis.
            Aku hanya dapat diam saja karena kalau aku berkata kepada mereka pun aku akan kalah. 1 melawan 4 orang itu tidak imbang. Aku akan habis dimakan mereka. Hah, bodoh.
            Dan saat aku sampai di rumah, Adikku, Marisa, langsung menghampiriku dan memelukku. Ya, aku tahu pasti ada maksudnya dibalik pelukan yang busuk ini. Dan benar! Dia ingin aku membantu tugas mewarnainya karena dia tidak tahu warna apa yang pantas. Hah, dasar anak TK. Aku sedang tidak mood.
            “Kakakmu ini baru pulang sekolah. Di sekolah banyak tugas, aku juga punya tugas, Dik. Dan aku mau mengerjakannya sekarang. Jadi jangan ganggu ya,” bentakku padanya. Sebenarnya itu bohong. Aku hanya ingin menenangkan diriku. Sendiri.
            Aku tak peduli Adikku telah menangis kencang sekali saat aku memasukki kamar. Masa bodoh lah. Mengapa dia tidak berfikir kreatif sedikit? Walaupun dia tak tahu warna apa yang harus dipakai, dia kan bisa menggunakan warna semaunya. Kalau gurunya berkata mengapa dia memakai warna yang salah, dia kan bisa berkata “Ini kreasi saya, saya bosan melihat jeruk warnanya oranye. Jadi saya merubahnya menjadi warna biru,”.
            Hahaha. Yang ada gurunya harus menahan emosi yang dibuat oleh muridnya yang masih ingusan dan cengeng itu.
            Hujan begitu besar, membuatku ingin menutupi seluruh tubuhku. Aku tak ingin kulitku kedinginan sedikit pun. Akhirnya aku menarik selimut dan ...
            “Man, ada telfon tuh. Angkat gih,” ucap Resti, sahabatku, yang sedang duduk di sampingku sambil mengerjakan tugasnya. Bukan, lebih tepatnya menyontek pekerjaan rumahku yang akan dikumpulkan eso hari. Jadi siang ini, sepulang sekolah, dia mengerjakan tugas dan malamnya dia bisa bertelepon ria dengan Ari, kekasihnya itu. Dasar.
            Handphoneku memang berdering namun entah aku begitu malas mengangkatnya setelah aku melihat layar terdapat tulisan “Rumah J”, namun kupaksakan untuk mengangkatnya.
            “Hallo, Mah?”
            “Manda?” kata seseorang yang menurutku bukan Mamah. Lalu siapa?
            “Ya?”
            “Ini Bu Tina,” akhirnya si penelepon memberikan identitasnya.
            “Oh, iya. Ada apa, Bu?” aku pun mulai merasa ada yang aneh. Mengapai Bu Tina menelepon dari nomor rumahku? Bukannya beliau juga mempunyai telepon di rumahnya?
            “Manda, Mamah udah engga ada. Tadi pagi waktu mau ke pasar ada mobil yang nabrak Mamah, cuma yang nabraknya kabur,” jelas Bu Tina.
            Seketika aku mematikan saluran telepon dan aku langsung meneteskan air mataku. Ini benar terjadi? Mengapa?!
            Aku dan sahabat-sahabatku langsung pergi ke rumahku untuk melihat Mamah. Untungnya Pak Soid, supir keluarga Resti, mengantarkan kami semua dengan mobilnya.
            Dalam perjalanan, sahabat-sahabatku menenangkanku. Namun tetap saja aku belum bisa menerima kenyataan. Bagaimana nasibku?! Aku dan adikku akan menjadi yatim piatu. Apa kami akan dibawa ke panti asuhan? Tidak, tidak!
            Saat aku sedang memikirkan nasibku yang luntang-lantung ini, tiba-tiba saja mobil kami ditabrak oleh sebuah bus pariwisata dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Aku merasakan mobil yang kami tumpangi berbalik dan aku melihat sekilas sahabat-sahabatku sudah berlumuran darah dan ...
            “Astaghfirullah,” teriakku kaget saat aku terbangun dari tidurku di sore hari yang penuh dengan kilat dan serangkaian air dari langit yang menyerang bumi ini.
            Tubuhku begitu berkeringat dan saat aku melihat jam. Benda bundar itu telah menunjukkan angka tepat di angka 6. Astaga.
            Aku pun mulai terdiam dan merenungkan mimpiku. Bagaimana kalau mimpiku menjadi kenyataan? Astaga. Aku pun meneteskan air mataku.
            Akhirnya aku merasa haus dan mengambil air di dapur. Saat aku melihat ke ruang keluarga, aku melihat Marisa mewarnai anggur dengan warna oranye. Hahaha. Mungkin itu jeruk yang mengalami revolusi menjadi anggur.
            Aku hampiri adikku. “Anggur itu warna ungu, Dik,” aku memberikan crayon warna ungu pada adikku.
            Adikku tersenyum dan meraih crayon yang aku beri. “Terima kasih, Kakak”
            Lalu aku melihat Mamah sedang bergelut dengan mesin jahitnya yang tua itu. Nampaknya orderan menjahit untuk Mamah sedang kurang. Ku hampiri Mamah. “Mah, maafin Manda ya yang tadi pagi,” aku memeluk Mamah.
            “Mamah mau maafin kamu kalau kamu engga berhenti sekolah ya. Mamah ingin kamu terus sekolah sampai ya minimal sarjana lah. Kan kalo kamu punya gelar, pekerjaan yang bakal kamu dapat kemungkinan akan memberikan gaji yang besar dibanding kamu sekarang putus sekolah, terus kamu jadi tukang cuci,” Mamah memelukku.
            Tadi pagi kami berdebat karena aku mengatakan akan berhenti sekolah karena aku tahu Mamah keberatan untuk membiayai pendidikan aku dan adikku. Daripada Mamah sampai harus mengutang kepada orang lain, lebih baik aku yang putus sekolah saja. Jadi beban Mamah akan berkurang. Kalau Marisa yang berhenti sekolah, dia belum memiliki kemampuan yang bisa dijual. Hahaha. Ya, aku mungkin dapat menjadi tukang cuci gitu? Aku bisa kok.
            “Tapi, Mah...” aku mencoba untuk menolak omongan Mamahku yang menurutku dia tidak harus seperti itu.
            “Masalah uang, Mamah pasti akan cari. Untuk anak-anak Mamah engga peduli Mamah mau bagaimana juga. Yang penting anak-anak Mamah jadi pintar. Ya? Kamu sama Marisa doain Mamah aja supaya setiap hari Mamah dapet order,” Mamah menggenggam tanganku.
            Aku menangis, “Tapi aku engga mau Mamah sampai kurus begini. Aku pasti rajin belajar, aku akan cari beasiswa supaya Mamah engga akan kayak gini lagi.”
            Mamah pun tersenyum dan memelukku.
            Esok hari, saat di sekolah aku memberanikan diri untuk menghampiri sahabat-sahabatku. Selama aku tidak salah, mengapa aku harus takut?
            “Hai, Resti, Ambar, Gina, Bunga!” sapa aku agak kikuk namun mencoba ramah.
            “Jajan yuk?” Ambar begitu jijik melihatku.
            “Sebentar, aku ingin mengatakan sesuatu,” tahanku.
            Akhirnya setelah kami berargumen, kami menemukan titik temu. Kami akhirnya saling meminta maaf dan persahabatan kami pun kembali utuh. Kini mereka mendukungku untuk lomba speech nanti. Dan Bu Ratih pun kini tak sering membanggakanku lagi.
            Tuhan, aku tak bisa membayangkan bagaimana bila mereka semua yang aku sayang harus meninggalkanku selama-lamanya? Cukup aku kehilangan Ayahku setahun yang lalu karena kanker paru-paru yang diidapnya. Aku belum siap untuk kehilangan yang lain. Aku masih ingin berbagi kebaikan dengan mereka. Tuhan, tolong jaga mereka sebagaimana Kau menjagaku untuk tidak membenci mereka.

No comments:

Post a Comment